Selasa, 01 Maret 2011

Nasib Bayi Kembar Siam dari Bukateja, Purbalingga

 
"Untuk Makan Saja Susah, Apalagi ke Semarang Nengok Cucu"
     NY.SOLIYAH  (55), warga Dukuh Karangpinggir  RT 02/RW 10 Desa/Kecamatan Bukateja, Purbalingga sangat  rindu ingin memeluk  cucunya, bayi kembar siam yang lahir dari rahim Ny. Haryanti  (23). Namun apa daya, karena tidak punya uang cukup, ia terpaksa mengurungkan niatnya untuk ke RS Karyadi, Semarang.
    "Untuk makan sehari-hari saja susah, apalagi ke Semarang untuk nengok cucu," ujar Soliyah ketika ditemui WJ di rumahnya, Jumat (21/1).
    Ny. Soliyah, kini berstatus janda. Suaminya, Rasidi, seorang buruh serabutan, sudah setahun lalu meninggal. Dari hasil perkawinannya dengan Rasidi, Soliyah dikaruniai 6 orang anak, dan Haryanti adalah anak ke lima. Setamat dari SD Bukateja IV, Haryanti ikut kakaknya di Tangerang untuk meneruskan pendidikan ke SMP. Hanya berbekal ijazah SMP, selama bertahun-tahun Haryanti bekerja di sebuah pabrik roti di Kota Bandung.
    Di Kota Bandung itulah, Haryanti menemukan jodohnya dengan Tatang, seorang pemuda asal Tasikmalaya yang bekerja di sebuah
pabrik konveksi. Merasa cocok, keduanya pun menikah. Tak ada pesta ataupun resepsi, pernikahan Tatang-Haryanti digelar sangat
sederhana, tiga tahun silam.
    "Seusai menikah, mereka lebih memilih tinggal di sini, karena kerja di Bandung setelah dihitung-hitung tidak seberapa,karena biaya hidup di Bandung cukup mahal,"  ujar Soliyah.
    Untuk menopang hidup sehari-hari, Tatang memilih profesi sebagai penjual Batagor (bakso tahu goreng) keliling di sekitar Kecamatan Bukateja. Dagangannya itu, yang dijajakan dengan gerobag genjot, dijual dari satu SD ke SD lainnya, ataupun dari  rumah ke rumah. 
    Setiap harinya, Tatang harus kulakan barang dagangannya itu ke Pasar Bukateja.Ia rutin membeli tepung tapioka (aci), terigu, kacang dan tahu serta bumbu-bumbu lainnya. Dibantu istrinya, ia olah barang-barang itu menjadi Batagor, yang dijual per biji Rp 500,-.
    "Sekarang banyak saingan, sering dagangan menantu saya sisa banyak. Padahal ia tulang punggung keluarga , termasuk menghidupi saya," ujar Soliyah.
    Soliyah mengaku tidak memiliki penghasilan tetap.Hanya saja, pada saat-sat tertentu ketika musim tandur di sawah tiba, ia sering diminta  untuk tandur atau menanam padi di sawah tetangganya. Upahnya, borongan, sehari rata-rata Rp 10 ribu. Dalam sebulan ketika musim tanam tiba, ia bisa kerja 20 hari, sehingga bisa mendapat uang Rp 200.000,-. Padahal, tidak setiap bulan ada orang meminta bantuan tenaganya untuk tandur.
    "Di daerah sini, sawahnya tadah hujan, sehingga musim tandur tiba enam bulan sekali.Yah..hasilnya segitu ya dicukup-cukupkan," ujar Soliyah.
    Dan ketika musim panen tiba, Soliyah tak sungkan-sungkan kerja sebagai buruh mencari sisa-sisa padi di sawah. Di bawah terik matahari yang menyengat, ia mengaku rata-rata sehari bisa mengumpulkan buliran gabah sampai 1 kg. Jika dijual di Bukateja laku Rp 3000,-.
    Soliyah mengaku, sejak Haryanti melahirkan bayi kembar siam, ia bingung harus bagaimana. Ia mengaku sudah menengok cucunya itu sehari setelah Haryanti melahirkan lewat operasi caesar di RS Emanuel Purworejo, Klampok, Banjarnegara. Namun sejak bayi itu dipindah ke  RSUD Prof. Dr Margono Soekaryo Purwokerto, dan kini ditangani di RS Karyadi, Semarang, belum pernah menengok cucunya yang ke 11 itu.
    Cucunya yang ke 10, Arif Santosa (2,5 tahun) yang juga kakak bayi kembar siam, sejak Selasa (18/1) lalu  ikut dibawa ke Semarang. "Di sini Arif menangis terus, dia tidak mau dipisah sama ibunya. Akhirnya, ya ketika ayahnya sempat pulang sebentar untuk ambil pakaian pada Selasa itu, langsung diajak ke Semarang," ujar Soliah.
    Soliyah menceritakan, sebagai rumah tangga muda dengan pekerjaan sebagai penjual Batagor yang tidak tentu hasilnya, memang  berat untuk membikin rumah sendiri. Untuk itu, ia merelakan bagian belakang rumahnya, dibikin rumah ala kadarnya yang ditempati Tatang dan Haryanti.
    Seperti disaksikan WJ, rumah itu sangat sederhana, berukuran 4 X 5 meter, semuanya berdinding bambu, dan beratapkan seng. Bahkan, di beberapa bagian dindingnya tampak menganga, sehingga mudah dilewati ayam yang berkeliaran di sekitar rumah itu. Rumah itu kemarin terkunci rapat, namun ketika WJ berniat masuk ke dalamnya, segera dibukakan oleh Soliyah.
    "Beginilah tempat tinggal anak saya dan menantu saya," ujar Soliyah.
    Di bagian depan rumah itu, tidak ada ruang tamu. Yang ada hanyalah sebuah kompor gas kecil yang sudah lama, dan seperangkat peralatan dapur serta rak berisi piring dan gelas. Di tempat ini, mereka memasak Batagor untuk dijual kelilingan.
    Memasuki bagian dalam rumah itu, ada ruang kecil untuk santai. Terdapat sebuah televisi kuno berukuran 14 inchi dan sebuah kasur kumal, rak meja kecil dan almari kecil.
    Di luar rumah, ada sebuah sumur, yang digunakan juga oleh Soliyah. Sementara untuk buang kotoran, mereka harus menuju ke Sungai Kacangan yang tidak jauh dari tempat itu.
    Di depan rumah yang sangat sederhana itu, tepatnya di pojok kiri, terdapat sebuah gerobag genjot. Gerobag itu lah yang digunakan oleh Tatang untuk  berjualan keliling, menjajakan batagor. Namun sudah seminggu lebih, gerobag genjot itu dibiarkan teronggok di pojok rumah milik Tatang dan Haryanti. Entah sampai kapan.(prasetyo)


FOTO: Ny. Soliyah di dekat gerobag dorong yang digunakan Tatang, memantunya untuk mencari nafkah. Kini gerobag itu menganggur, karena Tatang harus mengurus anak kembar siamnya di RS Karyadi, Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar