Selasa, 01 Maret 2011

Belajar semangat dari Na'imah


PURBALINGGA--Terik matahari Jumat (25/2) 13.30 siang itu  tidak dihiraukan oleh Na'imah. Keriput wajah dan kulitnya yang menghitam--Na'imah mengaku berusia 75 tahun-- menandakan ia biasa dengan pekerjaannya . Yakni mengais  gabah dari sisa-sisa paneh di tengah sawah saat matahari  membakar kulitnya.
    Na'imah  tidak sendiri. Ia yang mengaku dari Kelurahan Bancar, Purbalingga, siang itu bersama 21 wanita yang berasal dari desa-desa di sekitar Purbalingga, suntuk memungut gabah dari sisa panen di sebuah petak sawah yang berada di sebelah selatan SMP Muhammadiyah Purbalingga.
   Selain Na'imah, ada Fatonah, Daliyem, Sukiyem, Rasti, Tumini dan wanita-wanita lainnya yang rata-rata berusia di atas 30-an tahun. Dibanding rekan-rekannya, Na'imah adalah yang paling tua.
    Belakangan ini, banyak petani di Purbalingga yang mulai memanen padinya. Seperti terlihat di sepanjang Kecamatan Purbalingga, Kalimanah, Bukateja, Kemangkon, Kejobong, Kaligondang  dan  Padamara. Namun ada juga petani yang mulai menanam padi di musim penghujan saat ini. 
    "Janjane anak putu pun nglarang kula kades makaten. Nanging kula nekad, mboten betah thenguk-thenguk thok teng ngumah. Nek nganggur nang ngumah, niku dadi bantale setan. (Sebenarnya anak cucu sudah melarang saya kerja seperti ini. Tapi saya nekad, tidak betah duduk-duduk di rumah. Kalau menganggur di rumah, itu jadi bantalnya setan),"  ujar Na'imah yang sudah menjanda beberapa tahun ini kepada WJ, kemarin.
    Sekitar pukul 08.00 WIB, Na'imah berangkat dari rumahnya, berjalan kaki mencari sawah yang sedang dipanen. Bersama sejumlah tetangganya, ia berangkat membawa bekal, diantaranya air putih yang diwadahi di botol bekas air mineral, nasi bungkus dengan lauk ala kadarnya.
    Sengaja ia membawa bekal dari rumah, agar pada siang hari saat jam makan tiba, tidak mengeluarkan uang untuk jajan. Dan tak lupa, untuk menghindari sengatan matahari, ia kenakan tudung.
    Setelah meminta ijin kepada pemilik sawah yang sedang dipanen, Na'imah yang sudah melakuni profesi sebagai pemungut gabah selama bertahun-tahun, segera turun  ke sawah.
    Belepotan lumpur di kedua kakinya, karena sawah yang sedang dipanen baru saja diguyur hujan, tidak menjadikan Na'imah mengeluh. Ia jalani memungut sebutir demi sebutir gabah yang berceceran di sawah, maupun memetik tangkai  padi yang menyisakan gabah. Untuk memetik tangkai padi yang masih menyisakan gabah, ia gunakan ani-ani  (alat pemetik padi tradisional).
    Na'imah memang tidak secekatan rekan-rekannya yang usianya jauh lebih muda. Tenaga rentanya tidak sanggup harus mengumpulkan butiran-butiran gabah dalam jumlah banyak, ke dalam kantong plastik besar yang sudah disiapkan dari rumah.
    "Sedinten kula paling kathah pikantuk 2 kg gabah. Kadhang-kadhang gabah kula sade, sekilo pajeng Rp 2.800,-. Nanging  asring ugi kula kempalaken, kangge kula maem piyambak kaliyan lare lan putu-putu. (Sehari saya paling banyak mendapat 2 kg gabah. Kadang-kadang gabah saya jual, sekilo laku Rp 2800,-. Tetapi sering juga saya kumpulkan di rumah, untuk makan bersama anak-anak dan cucu-cucu," ujar Na'imah yang dikaruniai 3 anak dan 3 cucu ini.
    Dari tiga anaknya itu, seorang diantaranya ada yang menjadi penyuluh pertanian di Kecamatan Kaligondang, Purbalingga. Dua anak lainnya bekerja serabutan, dan masih menumpang hidup bersama Na'imah.
    "Kalau saya sehari bisa mendapatkan gabah 3- 5 kg. Rata-rata teman saya ya dapat segitu, kecuali Na'imah karena sudah tua, jadi gabah yang diperoleh sedikit. Gabah itu langsung saya jual, biasanya saya pulang jam 16. 00 WIB, dengan membawa uang Rp 8.400,- hingga Rp 14.000,-," timpal Fatonah, rekan Na'imah.
    Fatonah yang suaminya seorang tukang becak, mengaku sejatinya jumlah uang segitu tidak  cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Belum lagi ia setiap pagi harus memberikan uang saku anak-anaknya yang masih sekolah di SMP dan SMA. "Cukup tidak cukup, ya dicukup-cukupkan,"  ujar Fatonah warga Kelurahan Penambongan, Purbalingga.
Arisan
    Ada yang menarik di tengah kehidupan Na'imah, Fatonah  dan para pemungut gabah itu. Meski hidup dalam keterbatasan, mereka guyub, dan seminggu sekali rutin mengadakan arisan.
   Jumlah uang arisannya Rp 10.000,- setiap orang, dan beranggotakan 22 orang. Mereka adalah  kelompok pemungut gabah yang berkeliling menghampiri sawah-sawah di sekitar Purbalingga yang sedang panen.Tentu saja, tempat arisannya berpindah-pindah, tergantung sawah yang sedang dipanen, yang jadi sasaran mereka.
    Biasanya, arisan dikocok  setiap Sabtu siang di pinggir sawah, saat mereka istirahat dari pekerjaan rutinnya. "Peserta arisan semuanya jujur, tidak ada yang sampai tidak setor. Jika dapat, lumayan bisa untuk memenuhi  kebutuhan hidup," kata mereka enteng.  (prasetyo)
MENGAIS  GABAH--Na'imah, meski tenaganya tetap renta, ia tidak ingin hanya menganggur di rumah. Ia dan puluhan wanita lainnya suntuk menekuni pekerjananya sebagai pengais  gabah sisa-sisa panen. (foto: prasetyo/warta jateng)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar